Selasa, 09 Oktober 2012

AKUSTIK LAUT


Konsep-konsep Akustik Kelautan

Akustik kelautan adalah ilmu yang mempelajari rambatan gelombang suara pada kolom air laut. permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam akustik kelautan ini yaitu, kecepatan gelombang suara, waktu (pada saat gelombang dipancarkan hingga gelombang dipantulkan kembali), dan kedalaman perairan. Hal-hal yang mendasari kita mempelajari akustik kelautan adalah laut yang begitu luas dan dalam (dinamis), manusia sudah pernah ke planet terjauh tetapi belum pernah ke laut terdalam, sehingga dibutuhkannya alat dan metode untuk melakukan pendeskripsian kolom dan dasar laut, dan saat ini metode yang paling baik adalah dengan menggunakan akustik.
Metode akustik merupakan proses-proses pendeteksian target di laut dengan mempertimbangkan proses-proses perambatan suara, karakteristik suara, faktor lingkungan, dan kondisi target. Kelebihan dari metode akustik ini, yaitu berkecepatan tinggi, estimasi stok ikan secara langsung, dan memproses data secara real time, tepat, dan akurat. Akustik terbagi menjadi 2 macam, yaitu :
·         Akustik Pasif merupakan suatu aksi mendengarkan gelombang suara yang datang dari berbagai objek pada kolom perairan. Manfaar dari akustik pasif ini yaitu, untuk mendengarkan ledakan bawah air (gempa bumi, letusan gunung berapi, suara aktifitas ikan, aktifitas kapal, dan untuk mendeteksi kondisi bawah air.
·         Akustik Aktif untuk mengukur jarak adan arah dari objek yang dideteksi dan ukuran relatifnya dengan menghasilkan pulsa suara dan mengukur waktu tempuh dari pulsa dengan memakai prinsip sonar untuk pengukuran bawah air.
Hidroakustik didasarkan pada prinsip yang sederhana, gelombang suara dipancarkan melalui sebuah alat yang menghasilkan energi suara (tranducer) pada kolom perairan ataupun dasar perairan. Hal ini mengubah energi elektrik menjadi mekanik. Kecepatan energi suara di perairan mencapai 1500 m/s. Ketika energi tersebut mengenai suatu target maka akan dikembalikan dalam bentuk echo yang nanti akan dikembalikan ke receiver. Dengan menentukan selang waktu antara pulsa yang dipancarkan dan diterima, tranducer dapat memperkirakan jarak dan orientasi dari suatu objek yang dideteksi. Dapat dirumuskan sebagai berikut :

Jarak = Kecepatan Suara x Waktu / 2
   
Kecepatan suara bergantung pada suhu, salinitas, tekanan, musim, dan lokasi. Semakin jauh suara dari sumbernya, maka kegiatan echo akan mengalami perubahan dari segi ruang dan waktu. Kecepatan suara diperoleh dengan rumus :
C = 1449,2 + 4,6T-0,055T² + 0,00029Tᵌ + (1,34 – 0,010T)(S-3S) – 0,016Z
Dengan : C = Kecepatan suara (m/s)
                   T = Suhu (ºC)
                   S = Salinitas (psu)
                   Z = Kedalaman (m)

Sumber : Kuliah Akustik Kelautan 


Shadow Zone

Shadow Zone adalah suatu wilayah yang dimana gelombang suara tidak dapat merambat atau lemah sehingga hampir tidak dapat merambat dalam suatu medium. Pada daerah ini Temperatur dan salinitas laut pada lapisan tersebut dapat memantulkan gelombang suara yang datang. Menurut Urick (1983) di kolom perairan terjadi pembelokan gelombang suara (refraksi) yang terjadi karena perbedaan kedalaman, salinitas, dan suhu air laut. Pengaruh yang paling nyata terlihat, yaitu jika terjadi kenaikan suhu air laut sebesar 1°C akan menyebabkan meningkatnya kecepatan suara sebesar 1m/detik. Akibatnya jika suhu meningkat menurut kedalaman maka gelombang suara yang dipancarkan akan cenderung dibelokan ke arah permukaan air. Sebaliknya jika suhu menurun karena kedalaman maka gelombang suara akan cenderung dibelokan ke permukaan dan ke dasar perairan, maka terdapat wilayah yang tidak terjadi perambatan gelombang suara. Jarah dari sumber suara ke shadow zone ditentukan oleh laju perubahan suhu terhadap kedalaman, kedalaman sumber suara, dan kedalaman penerima suara.



Gambar 1. Pembentukan Shadow Zone

Shadow zone merupakan wilayah dimana suara tidak dapat merambat, hal tersebut dapat dijelaskan dengan mengingat lapisan yang ada di kolom air laut. Kolom air laut dibagi menjadi tiga lapisan, lapisan pertama yaitu lapisan tercampur (Mix Layer). Lapisan ini merupakan lapisan homogen dimana suhunya konstan, walaupun demikian kecepatan suara pada lapisan ini bertambah terhadap kedalaman karena adanya pengaruh dari pertambahan tekanan. Lapisan yang kedua yaitu lapisan termoklin, dimana terjadi penurunan suhu yang cepat yang lebih mendominasi dibandingkan pertambahan tekanan sehingga kecepatan suara pada lapisan ini berkurang terhadap kedalaman. Dan lapisan yang ketiga yaitu Lapisan laut dalam (Deep Water). Pada lapisan ini peningkatan tekanan lebih dominan dan terjadi penurunan suhu sehingga kecepatan suara kembali meningkat terhadap kedalaman.
Sumber :


Atenuasi Gelombang Suara
Atenuasi adalah kekuatan sinyal berkurang atau melemah bila jaraknya terlalu jauh melalui media transmisi, baik dengan menggunakan media transmisi guide seperti kabel, atau media transmisi unguide seperti gelombang. Atenuasi biasa terjadi pada sinyal analog, karena atenuasi berubah-ubah sebagai fungsi frekuensi, sinyal yang diterima menjadi menyimpang dan mengurangi tingkat kejelasan.  Dalam arti lain atenuasi adalah melemahnya sinyal yang diakibatkan oleh adanya jarak yang semakin jauh yang harus ditempuh oleh suatu sinyal mdan juga oleh karena makin tingginya frekuensi sinyalo mengalami berbagai perlakuan dari medium (kanal) yang dilaluinya. Ada satu mekanisme dimana sinyal yang melewati suatu medium mengalami pelemahan energi yang selanjutnya yang diokenal dengan atenuasi (Pelemahan atau redaman) sinyal. Atenuasi disebabkan oleh 3 faktor, yaitu Absorpsi, Hamburan (scattering) dan Mikro-beding.
Atenuasi terjadi sebelum pantulan (refleksi) dari gelombang suara. Medium seperti jaringan (tissue) akan menurunkan amplitudo dan intensitas ketika suara menembusnya. Reduksi amplitudo dan intensitas gelombang dalam perjalanan melewati medium disebut atenuasi. Adapun satuan dari atenuasi adalah decibels (dB). Sedangkan koefisien atenuasi adalah atenuasi yang terjadi persatuan panjang gelombang yang satuannya decibels per centimeter (dB/cm).
Attenuation (dB) = attenuation coefficient (dB/cm) x path length (2)
Ketika gelombang suara melewati suatu medium, intensitasnya semakin berkurang dengan bertambah kedalaman. Hal yang menyebabkan pelemahan gelombang adalah proses refraksi, hamburan, dan absorbsi. Absorbsi adalahpenyerapan energi suara oleh medium dan diubahnya menjadi energi bentuk lain.Hal ini menyebabkan pulsa ultrasonik yang bergerak melewati suatu zat akanmengalami kehilangan energi. Besarnya energi yang diabsorbsi sebanding dengan koefisien pelemahandan tebalnya medium yang dilalui. Setiap medium memiliki koefisien pelemahanyang berbeda-beda. Semakin kecil koefisien pelemahan maka semakin baik medium itu sebagai media penghantar. Penyerapan energi gelombang ultrasonik akan mengakibatkan berkurangnya amplitudo gelombang ultrasonik.
Sumber :

Selasa, 27 Maret 2012

EKOLOGI LAUT TROPIS






Definisi Terumbu Karang 

TERUMBU KARANG tersusus atas dua kata, yaitu terumbu dan karang, yang memiliki makna masing-masing yang berbeda. Terumbu (reef) adalah endapan masif batu kapur (limestone) terutama kalsium karbonat (CaCo3) yang utamanya dihasilkan oleh hewan karang dan biota-biota lain yang mensekresi kapur seperti alga berkapur dan moluska. Terumbu adalah punggung laut yang terbentuk oleh batu karang atau pasir di dekat permukaan air. Sedangkan Karang (coral) atau yang biasa disebut juga karang batu adalah hewan dari ordo scleractinia yang mampu mensekresi CaCo3. Hewan karang tunggal ini umumnya disebut polip. TERUMBU KARANG adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut zooanhellae. Terumbu karang termasuk dalam jenis filum Cnidaria kelas Anthozoa yang memiliki tentakel. 


 
Gambar Terumbu karang
(http://abdul-kholik.tripod.com/potensi_biotik.htm)



HABITAT terumbu karang pada umumnya hidup di pinggir pantai atau daerah yang masih terkena cahaya matahari kurang lebih 50 m di bawah permukaan laut. Beberapa tipe terumbu karang dapat hidup jauh di dalam laut dan tidak memerlukan cahaya, tetapi terumbu karang tersebut tidak bersimbiosis dengan zooxanhellae dan tidak membentuk karang.
EKOSISTEM terumbu karang sebagian besar terdapat di perairan tropis, sangat sensitif pada perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami. Untuk dapat bertumbuh dan berkembang biak secara baik, terumbu karang membutuhkan kondisi lingkungan hidup yang optimal, yaitu pada suhu hangat sekitar di atas 20° C terumbu karang juga memilih hidup pada lingkungan perairan yang jernih dan tidak berpolusi. Hal ini dapat berpengaruh pada penetrasi cahaya oleh terumbu karang. Beberapa terumbu karang membutuhkan cahaya matahari untuk melakukan fotosintesis. Polip-polip penyusun terumbu karang yang terletak pada bagian atas dapat menangkap makanan yang terbawa arus laut dan juga melakukan fotosisntesis.
  

Tipe-tipe terumbu karang :
Berdasarkan bentuk dan hubungan perbatasan tumbuhnya terumbu karang dengan daratan, terdapat tiga klasifikasi tipe terumbu karang, yaitu :
1.       Terumbu karang tepi (fringing reefs)
Terumbu karang tepi berkembang di pesisir pantai dari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas. Dalam proses perkembangannya, terumbu ini berbentuk melingkar yang ditandai dengan adanya bentukan ban atau bagian endapan karang mati yang mengelilingi pulau. Pada pantai yang curam, pertumbuhan terumbu jelas mengarah secara vertikal. Contoh : Bunaken (Sulawesi), P. Panaitan (Banten), Nusa dua (Bali).


2.       Terumbu karang penghalang (barrier reefs)
Terumbu karang ini terletak pada jarak yang relatif jauh dari pulau, sekitar 0,52 km ke arah laut lepas dengan dibatasi oleh perairan berkedalaman hingga 75 meter. Terkadang membentuk lagoon (kolam air) atau celah perairan yang lebarnya mencapai puluhan kilometer. Umumnya karang penghalang tumbuh di sekitar pulau yang sangat besar atau benua dan membentuk gugusan pulau karang yang terputus-putus. Contoh : Great Barrier Reef (Australia), Spermonde (Sulawesi Selatan), Banggai kepulauan (Sulawesi Tengah). 


3.       Terumbu karang cincin (Atolls)
Terumbu karang yang berbentuk cinci yang mengelilingi batas dari pulau-pulau vulkanik yang tenggelam sehingga tidak terdapat pembatas dengan daratan. Menurut Darwin, terumbu karang cincin merupakan proses lanjutan dari terumbu karang penghalang, dengan kedalaman rata-rata 45 meter. Contoh : Taka Bone Rate (Sulawesi), Maratua (Kalimantan Selatan), Pulau Dana (NTT), Mapia (Papua).




Gambar Tipe-tipe terumbu karang, yaitu terumbu karang tepi (kiri), terumbu karang penghalang (tengah), dan terumbu karang cincin (kanan). 


MANFAAT terumbu karang mengandung berbagai manfaat yang sangat besar dan beragam, baik secara ekologi maupun ekonomi. Manfaat dari terumbu karang yang langsung dapat dimanfaatkan oleh manusia adalah :
  • Sebagai tempat hidup ikan yang banyak dibutuhkan oleh manusia dalam bidang pangan. Seperti ikan kerapu, ikan baronang, ikan ekor kuning. 
  • Pariwisata, wisata bahari untuk melihat keindahan bentuk dan warnanya. 
  • Penelitian dan pemanfaatan biota perairan lainnya yang terkandung di dalamanya.
Yang termasuk pemanfaatan secara tidak langsung adalah sebagai penahan abrasi pantai yang disebabkan oleh gelombang dan ombak laut serta sebagai sumber keanekaragaman hayati.
Adapun faktor-faktor pembatas dari terumbu karang yang akan dijelaskan pada blog



Rabu, 21 Maret 2012

Salinitas dan Suhu

Suhu Dan Salinitas
A.      Salinitas
   Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Air laut mengandung 3,5% garam-garaman, gas-gas terlarut, bahan-bahan organik dan partikel-partikel tak terlarut. Keberadaan garam-garaman mempengaruhi sifat fisis air laut (seperti: densitas, kompresibilitas, titik beku, dan temperatur dimana densitas menjadi maksimum) beberapa tingkat, tetapi tidak menentukannya. Beberapa sifat (viskositas, daya serap cahaya) tidak terpengaruh secara signifikan oleh salinitas. Dua sifat yang sangat ditentukan oleh jumlah garam di laut (salinitas) adalah daya hantar listrik (konduktivitas) dan tekanan osmosis.  Garam-garaman utama yang terdapat dalam air laut adalah klorida (55%), natrium (31%), sulfat (8%), magnesium (4%), kalsium (1%), potasium (1%) dan sisanya (kurang dari 1%) teridiri dari bikarbonat, bromida, asam borak, strontium dan florida.
Tiga sumber utama garam-garaman di laut adalah pelapukan batuan di darat, gas-gas vulkanik dan sirkulasi lubang-lubang hidrotermal (hydrothermal vents) di laut dalam. Secara ideal, salinitas merupakan jumlah dari seluruh garam-garaman dalam gram pada setiap kilogram air laut. Secara praktis, adalah susah untuk mengukur salinitas di laut, oleh karena itu penentuan harga salinitas dilakukan dengan meninjau komponen yang terpenting saja yaitu klorida (Cl). Kandungan klorida ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah dalam gram ion klorida pada satu kilogram air laut jika semua halogen digantikan oleh klorida. Penetapan ini mencerminkan proses kimiawi titrasi untuk menentukan kandungan klorida. Salinitas ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah total dalam gram bahan-bahan terlarut dalam satu kilogram air laut jika semua karbonat dirubah menjadi oksida, semua bromida dan yodium dirubah menjadi klorida dan semua bahan-bahan organik dioksidasi.
Selanjutnya hubungan antara salinitas dan klorida ditentukan melalui suatu rangkaian pengukuran dasar laboratorium berdasarkan pada sampel air laut di seluruh dunia dan dinyatakan sebagai: 
                                         S (o/oo) = 0.03 +1.805 Cl (o/oo) (1902) 
Lambang o/oo (dibaca per mil) adalah bagian per seribu. Kandungan garam 3,5% sebanding dengan 35o/oo atau 35 gram garam di dalam satu kilogram air laut. Persamaan tahun 1902 di atas akan memberikan harga salinitas sebesar 0,03o/oo jika klorinitas sama dengan nol dan hal ini sangat menarik perhatian dan menunjukkan adanya masalah dalam sampel air yang digunakan untuk pengukuran laboratorium. Oleh karena itu, pada tahun 1969 UNESCO memutuskan untuk mengulang kembali penentuan dasar hubungan antara klorinitas dan salinitas dan memperkenalkan definisi baru yang dikenal sebagai salinitas absolut dengan rumus:

                S (o/oo) = 1.80655 Cl (o/oo) (1969) 
        Namun demikian, dari hasil pengulangan definisi ini ternyata didapatkan hasil yang sama dengan definisi sebelumnya. Definisi salinitas ditinjau kembali ketika tekhnik untuk menentukan salinitas dari pengukuran konduktivitas, temperatur dan tekanan dikembangkan. Sejak tahun 1978, didefinisikan suatu satuan baru yaitu Practical Salinity Scale (Skala Salinitas Praktis) dengan simbol S, sebagai rasio dari konduktivitas. 

"Salinitas praktis dari suatu sampel air laut ditetapkan sebagai rasio dari konduktivitas listrik (K) sampel air laut pada temperatur 15oC dan tekanan satu standar atmosfer terhadap larutan kalium klorida (KCl), dimana bagian massa KCl adalah 0,0324356 pada temperatur dan tekanan yang sama.
Rumus dari definisi ini adalah: 
S = 0.0080 - 0.1692 K1/2 + 25.3853 K + 14.0941 K3/2 - 7.0261 K2 + 2.7081 K5/2 

B.   Suhu
Air sebagai lingkungan hidup organisme air relatif tidak begitu banyak mengalami fluktuasi suhu dibandingkan dengan udara, hal ini disebabkan panas jenis air lebih tinggi daripada udara. Artinya untuk naik 1° C, setiap satuan volume air memerlukan sejumlah panas yang lebih banyak dari pada udara.
Pada perairan dangkal akan menunjukkan fluktuasi suhu air yang lebih besar dari pada perairan yang dalam. Sedangkan organisme memerlukan suhu yang stabil atau fluktuasi suhu yang rendah. Agar suhu air suatu perairan berfluktuasi rendah maka perlu adanya penyebaran suhu. Hal tersebut tercapai secara sifat alam antara lain sebagai berikut :

·      Penyerapan (absorbsi) panas matahari pada bagian permukaan air.
·       Angin, sebagai penggerak permindahan massa air.
·       Aliran vertikal dari air itu sendiri, terjadi bila disuatu perairan (danau) terdapat    lapisan suhu air yaitu lapisan air yang bersuhu rendah akan turun mendesak lapisan air yang bersuhu tinggi naik ke-permukaan perairan. Selain itu, suhu air sangat berpengaruh terhadap jumlah oksigen terlarut di dalam air. Jika suhu tinggi, air akan lebih lekas jenuh dengan oksigen dibanding dengan suhunya rendah.
Suhu air pada suatu perairan dapat dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam satu hari, penutupan awan, aliran dan kedalaman air. Peningkatan suhu air mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatisasi serta penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2, CO2, N2, CH4, dan sebagainya.

Kesimpulan yang didapat dari pengertian salinitas dan suhu bahwa semakin tinggi suhu maka salinitas akan meningkat, seiring peningkatan kenaikan suhu. Perubahan pada suhu dan salinitas akan menaikan atau mengurangi densitas air laut di lapisan permukaan sehingga memicu terjadinya kenveksi lapisan. Jika kita ingin menentukan karakteristik suhu dan salinitas suatu perairan kita dapat menggunakan diagram T-S (temperature-salinitas). Untuk lebih jelasnyamengenai diagram T-S ini silahkan anda masuk kepada blog ini : belatheamarine.blogspot.com